Kamis, 03 Juli 2014

Monpera, Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Bagian Selatan

Berkesempatan menghadiri pernikahan salah satu sahabat di Bumi Sriwijaya, akhirnya kesampaian juga menginjakkan kaki di kota pempek ini. Berhubung pernikahannya dilaksanakan pada hari Minggu, maka tidak akan saya sia-siakan untuk jalan-jalan di hari Sabtunya.

Berangkat dari Jakarta Sabtu pagi dengan tiket pesawat gratisan dari Garuda *untung point GFFnya pas banget untuk ditukar tiket ke Sumatera*, saya berangkat dengan seorang teman yang memang wong kito galo. Sesampainya di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, saya nebeng mobil jemputan teman sampai jalan raya yang ada angkutan umumnya.

Perjalanan dimulai dengan naik bus kota jurusan Kertapati - 12 atau Plaju - 12. Begitu naik bus, langsung kaget... Ternyata tidak cuma angkot yang suka nyetel musik keras-keras di dalam mobil, bus pun juga nyetel musik yang luar biasa kencengnya. Sampai-sampai harus teriak di telinga kondekturnya untuk nanya. Tapi untungnya tarifnya hanya 3 ribu rupiah saja.

Saya diberi tahu teman agar turun di air mancur dekat Masjid Agung. Saat bus berhenti menurunkan saya, saya bingung, kok nggak ada air mancurnya??? Oleh si abang kondektur, saya disuruh nyebrang lewat jembatan penyeberangan. Sampailah saya di Masjid Agung. Berhubung sedang tidak sholat, saya tidak masuk ke dalam masjid. Dari papan petunjuk di jalan, saya membaca arah Monpera. Ternyata letak Monpera hanya di seberang Masjid Agung.

Waktu itu siang hari dan sedang terik-teriknya. Saya langsung membaca tulisan MONPERA di depan museum. 

Halaman Depan Monpera
Halaman Monpera lumayan luas, jadi lumayan juga panasnya saat berjalan menuju museumnya. Lalu saya mencari dinding relief bertuliskan kalimat Jenderal Sudirman seperti yang saya lihat di internet beberapa hari sebelumnya. Ternyata di samping museum memang ada relief, bahkan saya baru tahu kalau ada dua relief. Satu di samping kanan museum, dan satu lagi di samping kirinya. Dua relief yang mengapit monumen ini menggambarkan pertempuran lima hari lima malam dan perjuangan pra kemerdekaan. Semboyan perjuangan pada saat itu adalah "Patah tumbuh hilang berganti, hilang satu tumbuh seribu".

Relief di Sisi Kanan Monpera
Relief di Sisi Kiri Monpera
Di halaman samping Monpera, tampak beberapa anak berseragam SMA berbaring di rerumputan. Mereka sedang asyik berfoto, mungkin anak-anak kelas 3 yang sudah selesai ujian.
Monpera diresmikan pada tanggal 23 Februari 1988 untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa sebagai titik tolak generasi muda dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Berdasarkan informasi yang tertulis di depan museum, Monpera memiliki fungsi untuk menggali kembali kesadaran sejarah perjuangan dalam menegakkan kemerdekaan nasional. Sedangkan sifatnya untuk mengingatkan semua aktivitas perjuangan hikmah agar menjadi suri teladan bagi generasi penerus cita-cita bangsa.
Adapun bentuk bangunan Monpera sendiri cukup menarik dan terdapat burung garuda besar di bagian depannya. Bantuk bangunan Monpera adalah melati berkelopak lima. Keputihan melati melambangkan kesucian dan kemurnian perjuangan para pahlawan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dilambangkan dengan tinggi dinding 17, jumlah jalur tampak depan 8, jumlah jalur dan bidang 45. Lima bagian dinding monumen melambangkan lima daerah perjuangan rakyat Sumatera bagian selatan, yaitu Sumatera Selatan,  Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Sedangkan jalur 9, 3 tampak belakang, 3 kiri dan kanan mengandung makna kebersamaan. Terdapat juga angka 9 yang melambangkan Palembang mengenal Batanghari Sembilan, Pucuk Jambi Sembilan Lurah, dan Lampung Siwo Mego.

Bentuk Bangunan Monpera
Selesai memutari bangunan Monpera, saya berkeinginan untuk masuk ke dalam museumnya. Tetapi anehnya, pintu museum dalam keadaan terkunci. Atau mungkin memang tidak diperbolehkan masuk bagi umum, atau tutup kalau hari libur, pikir saya dalam hati. Tapi untungnya tak lama kemudian datang seorang bapak-bapak membawa kuncinya, membukakan pintu museum dan mempersilahkan saya masuk.

Ruangan pertama yang saya masuki tidak begitu berukuran besar untuk sebuah museum. Tapi saya baru tahu dari bapak penjaga pintu, kalau kita bisa naik ke atas sampai ke lantai enam. Bahkan di lantai teratas, kita bisa keluar melihat pemandangan Kota Palembang dari atas. 

Tangga yang Menghubungkan Setiap Lantai

Penasaran, saya minta ijin untuk naik ke atas. Tapi sayangnya bapak penjaga museum tidak bisa menemani saya ke atas. Baiklah, saya bisa naik sendiri kok Pak. Dan ternyata di setiap lantainya memang ada ruangan-ruangan lagi. Di setiap ruangan ini tersimpan foto-foto pada saat jaman perjuangan, berbagai macam senjata yang digunakan, juga patung-patung replikanya.

Foto-Foto dan Senjata yang Dipajang di Dalam Museum


Sebenarnya, agak serem juga sih berada di museum enam lantai seorang diri. Tapi berhubung sudah sampai disini, rugi rasanya kalau tidak melanjutkan perjalanan samapi lantai atas.

Setelah sampai di lantai lima, ada sebuah pintu kayu. Saya pikir pintu inilah yang harus dibuka untuk keluar melihat pemandangan sekitar. Eh, ternyata pintunya terkunci, berarti bukan yang ini karena kata bapak penjaga museum, pintunya tinggal dibuka saja kalau mau keluar melihat pemandangan. Dan saya pun melanjutkan naik satu lantai lagi.

Sesampainya di lantai tujuh, saya langsung mencari pintu keluarnya. Namun tak ada satu pintupun disana. Ternyata pintu yang tersedia bukanlah pintu biasa seperti yang ada dalam bayangan saya. Pintunya terdapat di atas atap, berbentuk lubang bulat, jadi harus naik tangga kecil dulu untuk menuju pintunya. Oke, mari kita naik tangga terakhir demi pemandangan yang saya harapkan. Lagipula tangga ini tidak seberapa tingginya dibandingkan tangga-tangga yang sudah saya lalui sebelumya.

Tangga Terakhir untuk Keluar ke Lantai Paling Atas
Tapi oh tapi... Ternyata pintunya terbuat dari besi yang lumayan beratnya, dan sayapun tidak kuat untuk membukanya...Oh tidaaakk...

Ya sudahlah, mungkin memang belum rejeki saya, hehe. Meskipun agak kecewa, tapi saya masih harus turun kembali sampai ke lantai satu lagi. Karena tadi pagi belum sempat sarapan, jadi menuruni enam lantai dengan tangga terasa lumayan beratnya...

Sesampainya di bawah, saya mengucapkan terima kasih kepada bapak penjaga museum. Setelah saya keluar, ternyata museumnya dikunci lagi, mungkin karena memang lagi sepi. Tapi untuk masuk ke museum ini, tidak perlu membayar tiket masuk. Kita cukup mengisi buku tamu yang tersedia. Atau mungkin karena saya hanya sendiri jadi digratisin? Entahlah, hehehe....

Rabu, 25 Desember 2013

Berjalan di Jembatan Bukit Bangkirai

Bosan dengan wisata pantai di Balikpapan? Bagaimana kalau kita ke gunung? Menikmati indahnya alam pegunungan, hijaunya pepohonan, indahnya lembah berhamparan, suara binatang bersahutan, disertai hembusan angin yang menawan. Semua itu bisa ditemukan di Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai, sebuah tempat wisata yang tidak terlalu jauh dari Balikpapan.

Bukit Bangkirai terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Jaraknya kurang lebih 60 km dari pusat kota Balikpapan. Sayangnya, tidak ada kendaraan umum yang menuju kesana, jadi Anda harus membawa kendaraan sendiri. Waktu tempuh ke Bukit Bangkirai sekitar 1,5 - 2 jam dari Kota Balikpapan.

Jika Anda dari Balikpapan, silahkan telusuri Jalan Soekarno-Hatta (menuju arah Kota Samarinda) sampai km 38, kemudian belok kiri di pertigaan dengan papan petunjuk ke arah Bukit Bangkirai. Dari sini, Anda masih harus menempuh 20 km lagi untuk sampai kesana. Setelah berjalan 7 km, akan ada pintu gerbang selamat datang di sebelah kiri. Setelah memasuki pintu gerbang pertama ini, jalan aspal akan menghilang, digantikan dengan jalan bebatuan yang diratakan. Terus ikuti saja jalan bebatuan ini, maka Anda akan sampai ke pintu gerbang selamat datang yang kedua.

 Pintu gerbang selamat datang yang kedua

Di pintu masuk, Anda akan dikenakan retribusi sebesar Rp 3.000,- per orang untuk dewasa dan Rp 1.500,- untuk anak-anak. Jika Anda membawa kendaraan roda dua, tarif parkirnya adalah Rp 3.000,-. Sedangkan tarif parkir untuk kendaraan roda empat adalah Rp 5.000,-. Salah satu objek yang paling menarik dari Bukit Bangkirai ini adalah Canopy Bridge yang dibangun di atas lima pohon bangkirai. Tiket untuk menaiki Canopy Bridge sebesar Rp 20.000,- per orang untuk turis lokal dan Rp 50.000,- untuk turis asing, harga yang relatif murah untuk menikmati indahnya pemandangan hutan Kalimantan dari atas pepohonan.

 Tiket masuk Bukit Bangkirai

Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai diresmikan pada tanggal 14 Maret 1998 oleh Menteri Kehutanan saat itu, Ir. Djamaluddin Soerjohadikusumo. Kawasan ini terletak di dalam area PT. Inhutani I Batuampar Mentawi. Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai dibangun untuk tempat wisata, penelitian biodiversity, pendidikan serta pelatihan mengenai kehutanan khususnya tentang Hutan Hujan Tropika Basah di Pulau Kalimantan.

Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai merupakan hutan seluas 510 ha. Di kawasan ini terdapat lebih kurang 2.800 jenis flora dan fauna yang didominasi jenis pohon Dipterocarpaceae khususnya Shorea laevis (bangkirai), 3.000 jenis jamur, 13 jenis rotan, 24 jenis anggrek termasuk anggrek hitam, 113 burung, serta berbagai jenis mamalia dan serangga.

Fasilitas pendukung yang ada di Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai antara lain:
  • 5 unit cottage yang terbuat dari kayu bangkirai dan bernuansa semi modern
  • 1 unit Guest House Shorea yang terdiri dari lima kamar. Guest house ini merupakan tempat penginapan bagi para peneliti.
  • 1 unit Barak Outbound Borneo
  • 1 unit lamin/meeting room
  • Canopy Bridge (Jembatan Tajuk)
  • Adventure Jungle Tracking sebanyak 6 trek dengan jarak tempuh 2 - 6 km.
  • Kebun anggrek seluas 1 ha dengan koleksi anggrek hitam (Coelogyne pandurata), anggrek tusuk konde (Eria albido - tomentosa), anggrek jarum (Eria brectescens), anggrek rotan (Eria compressa), anggrek mawar (Eria flowercens), anggrek lili (Eria hyacchintaides), anggrek glagah (Eria latifolia), Phalaenopsis bellina, Arachis breviscava, Coelogyna asperata, Macodes petola, Phalaenopsis cornucervi, dan Destoria metusala.
  • Kebun buah, diantaranya mangga, manggis, durian, lai, mentega, dll.
  • Camping ground seluas 5.000 m2
  • Area bermain anak-anak
  • Kolam renang
  • Lapangan tenis
  • Mushola
  • Restoran
Kebun Anggrek

Bukit Bangkirai merupakan kawasan wisata alam dengan beberapa jalur treking di dalamnya. Ada enam jalur treking, masing-masing jalur trek dinamai memakai nama menteri kehutanan. Pemandangan selama treking adalah hutan tropis dengan berbagai macam floranya disertai musik alam dari berbagai jenis hewan. Jalur trek pertama sepanjang 150 m adalah Trek M. Prakosa, menteri kehutanan periode 2001 - 2004.

 Jalur trek pertama

Jalur trek kedua sepanjang 300 meter adalah Trek Djamaludin, menteri kehutanan periode 1993 - 1998.

Trek II

Setelah melalui trek II ini, Anda akan sampai ke Canopy Bridge. Jembatan ini dibangun pada tahun 1998 dan merupakan satu-satunya Canopy Bridge yang di Indonesia. Wow, inilah alasan mengapa Anda harus mencobanya.

 
Canopy Bridge ini merupakan jembatan gantung sepanjang 64 meter yang digantung menghubungkan lima pohon bangkirai di ketinggian 30 meter. Pohon bangkirai bisa berumur lebih dari 150 tahun, tingginya bisa mencapai 40 m dengan diameter 1 m. Jembatan tajuk ini merupakan yang pertama di Indonesia, kedua di Asia dan yang kedelapan di dunia. Konstruksinya dibuat di Amerika Serikat. Awalnya, peneliti asal Amerika melakukan survey lokasi, pohon, dan lingkungan. Canopy Bridge dibangun selama satu bulan. Pembangunan tahap pertama pada Januari 1998 dan tahap kedua selesai pada Februari 1998. Jembatan ini dikerjakan oleh kontraktor Amerika yang tergabung dalam CCA (Canopy Constraction Asosiated) sebanyak enam orang pelaksana lapangan dengan dibantu tenaga lokal sebanyak tiga orang. Selain menggunakan kayu dalam konstruksinya, digunakan pula baja tahan karat atau galvanized dari Amerika. Umur jembatan tajuk ini diperkirakan mampu bertahan selama 15-20 tahun sesuai dengan umur dan ketahanan bahan.
 
 Kayu bangkirai

Untuk menaiki canopy bridge, ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi seperti berikut ini:
  • Anak-anak dengan tinggi badan di bawah 1 meter dilarang naik ke canopy bridge
  • Dilarang memakai sandal, berjalan tanpa alas kaki atau sepatu berhak tinggi
  • Maksimal 2 orang yang dapat melewati jembatan pada saat yang bersamaan dan berada pada jarak lima meter antara satu orang dengan yang lain
  • Maksimal delapan orang di platform pada menara
  • Maksimal 4 orang di platform pada pohon
  • Dilarang memanjat pohon atau platform
  • Dilarang berlari-lari atau melompat-lompat di atas canopy bridge
  • Dilarang merokok
Canopy bridge ini akan ditutup jika kecepatan angin melebihi 30 mil/jam, pada malam hari/tidak ada penerangan, serta bila ada petir/kilat/halilintar dan hujan.

Untuk naik ke canopy bridge, Anda harus menaiki menara kayu setinggi kurang lebih 30 meter terlebih dahulu. Ada dua menara disana, satu menara untuk jalan naik ke canopy bridge, dan satu menara lagi untuk jalan turun.

Menara untuk naik ke Canopy Bridge

Susunan tangga berputar di menara

Ada empat jembatan yang menghubungkan lima pohon bangkirai di Canopy Bridge ini. Jembatan yang terpanjang adalah jembatan ke-3, sedangkan jembatan yang terpendek adalah jembatan ke-2. Di tiap jembatan dipisahkan oleh tree platform yang dibangun di atas pohon bangkirai.

Di sudut tree platform

Jembatan ke-3


Jembatan ke-4 menuju menara turun


Bagi sebagian orang yang takut ketinggian, mungkin akan sedikit ngeri ketika melewati jembatan ini. Jembatan ini akan bergoyang saat kita berjalan melaluinya. Apalagi jika ada angin berhembus, jembatan akan sedikit terguncang, terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Salah satu triknya, jangan perhah melihat ke bawah bagi anda yang takut ketinggian, tapi lihatlah ke depan dan sekelilingya. Ketakutan itu akan terbayar jika kita sudah melihat indahnya pemandangan hutan hujan tropis dari atas Canopy Bridge.

Pemandangan dari atas Canopy Bridge

Menara untuk jalan turun

Setelah turun dari Canopy Bridge, kita dapat melanjutkan treking ke Trek III - VI. Trek IV sepanjang 1 km adalah Trek MS. Kaban, menteri kehutanan periode 2004 - 2009. Sedangkan trek VI sepanjang 160 meter adalah Trek Marzuki Usman, menteri kehutanan periode 2000 - 2001 (trek III dan V saya lupa memotretnya). Di antara trek ini, terdapat kebun buah dan kebun anggrek. Namun sayangnya, belum tentu pohon buahnya sedang berbuah saat kita kesana. Begitu pula dengan kebun anggreknya, belum tentu anggreknya sedang berbunga.

 Trek IV dan VI

Setelah trek VI, Anda akan sampai ke area bermain anak-anak. Oh ya, di sepanjang jalur treking, akan dijumpai banyak papan pengumuman berisi pesan-pesan positif untuk mencintai dan melestarikan alam. Tapi ada salah satu papan tulisan yang paling menarik di kawasan wisata ini.




Jadi, mari kita bunuh sisa waktu kita dengan menikmati indahnya dunia ini. Mari kita tinggalkan jejak dimanapun kaki kita menapak. Dan terakhir, jangan lupa ambil gambarnya ya! Happy traveling ;)





Jumat, 29 November 2013

Semalam di Baduy Dalam

Akhir bulan Juni 2013, tepatnya tanggal 29 - 30 Juni, saya dan sahabat jalanku, Mayu, ikut trip singkat ke Baduy. Ide ini bermula saat atasanku bercerita tentang pengalaman perjalanan wisatanya ke Baduy Luar bersama teman-teman kantornya. Tapi, rasanya sayang kalo hanya sampai Baduy Luar saja. Kenapa tidak sekalian masuk ke dalam? 

Setelah cari-cari tripnya, lumayan banyak juga trip ke Baduy Dalam. Kami pun memilih harga trip yang termurah, yaitu 90 ribu. Dan setelah baca-baca, ternyata memang banyak aturan-aturan yang harus ditaati kalo mau ke Baduy Dalam, berbeda dengan di Baduy Luar yang siapa saja boleh masuk tanpa banyak peraturan yang memberatkan. Beberapa peraturan yang sempat mengagetkan seperti tidak boleh mengambil foto, tidak boleh memakai peralatan elektronik, tidak boleh memakai sabun dan pasta gigi karena dianggap mencemari lingkungan, dan orang asing tidak diperbolehkan masuk. Tapi, demi sampai disana, kami akan rela tidak mandi 2 hari dengan sabun :p.

Perjalanan dimulai hari Sabtu, tanggal 29 Juni. Peserta trip berkumpul di Stasiun Tanah Abang pukul 07.00. Saya berangkat dari Stasiun Depok sebelum jam 6. Saat di commuter line, saya bertemu dengan seorang perempuan yang membawa tas gunung gede. Wah, ternyata mbak-mbak ini mau ikut trip ke Baduy juga. Waktu itu ada 2 kelompok trip yang akan berangkat ke Baduy, jadi rame sekali suasananya... Grup kami sendiri saja berjumlah 45 orang, banyak sekali kan.

Dari Stasiun Tanah Abang, kami naik kereta Rangkas Jaya pukul 08.00 menuju Rangkasbitung. Sesampainya di Stasiun Rangkasbitung (sekitar pukul 9.30), kami sudah dijemput 3 mobil elf. Perjalanan berlanjut menuju Desa Ciboleger. Desa ini merupakan salah satu pintu masuk ke Suku Baduy. 

Patung Selamat Datang di Desa Ciboleger

Tongkat yang saya bawa adalah tongkat yang dijual oleh anak-anak Desa Ciboleger. Satu tongkat dijual seharga 5 ribu. Ini dia salah satu gadis kecil penjual tongkatnya.

Gadis kecil penjaja tongkat kayu

Di sini terdapat beberapa warung makan, jadi dianjurkan mengisi perut sebelum perjalanan panjang ke Baduy Dalam. Setelah sholat Dzuhur dan kenyang makan, jam 13.00 kami mulai masuk ke Baduy Luar.




Di Baduy Luar, perjalanan sudah mulai menanjak. Dan inilah awal dari perjalanan panjang kami...


Beberapa teman membawa tas gunung, sedangkan saya hanya membawa tas ransel yang berisi baju ganti, makanan, dan sleeping bag. Walaupun cuma ransel, tapi rasanya berat juga. Apalagi jalanan naik turun begini. Tapi tenang saja, bagi yang tidak kuat membawa tas bawaan yang berat, banyak anak-anak Baduy yang mau membawakan tas kita, dengan tip kurang lebih 30 ribu sekali jalan. Tapi kalo dipikir-pikir, 30 ribu sepertinya harga yang murah untuk membawakan barang kita mendaki bukit yang lamanya bisa berjam-jam itu.


Agus, salah satu anak Baduy Dalam
yang siap membawakan barang kita

Pemandangan selama perjalanan adalah beberapa perkampungan dengan rumah adat suku Baduy. Ada pula beberapa ibu yang sedang membuat kain tenun atau menumbuk kopi.


Rumah adat Suku Baduy

Setelah beberapa menit perjalanan, sampailah kami pada jembatan bambu yang pertama. Ini dia :)


Di Baduy Luar ini, banyak sekali bangunan-bangunan, seperti rumah adat tetapi lebih kecil. Bangunan ini adalah lumbung padi, tempat penduduk Baduy menyimpan hasil panen mereka. Seperti ini bangunannya.

Lumbung padi Suku Baduy

Perjalanan terus berlanjut, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah... *kok jadi nyanyi*. Sesekali kami istirahat, numpang duduk di teras rumah penduduk, sembari menunggu teman-teman yang masih tertinggal di belakang.
 




Dan, terjadilah peristiwa itu. Saat berjalan, tiba-tiba kami mendengar suara seperti air terjun. Kami pikir, memang ada air terjun di depan. Tapi ternyata, itu suara hujan yang turun... Bancana bagi saya karena nekat pergi tanpa membawa jas hujan. Basahlah semua badan, basahlah semua isi tas, termasuk baju ganti saya :'(. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah peralatan elektronik, HP dan kamera saya. Untung seorang teman berbaik hati memberikan tas plastik untuk menyimpan barang-barang yang harus diselamatkan.

Karena hujan, jalanan menjadi sangat licin. Banyak diantara kami yang jatuh terpeleset beberapa kali. Bahkan saya pun termasuk yang terpeleset sekali saat menyeberang sungai kecil.

Dengan kondisi basah kuyup, sampailah kami di perbatasan antara Baduy Luar dan Dalam, yang berupa jembatan bambu lagi. Mulai di sini, kami sudah tidak diperbolehkan mengambil foto lagi. Kami kira perumahan penduduk sudah tidak jauh dari sini, tapi ternyata... masih jauh juga. Setelah treking kurang lebih 5-6 jam, sampailah kami di perumahan penduduk. Kami sampai sekitar pukul 18.00, tapi ada juga yang baru sampai pukul 19.00. Benar seperti kata orang, gelap tak ada listrik. 

Badan memang basah kuyup, plus tambah terkena lumpur saat terjatuh, tapi mau mandi pun hanya ada sungai yang dipakai beramai-ramai, ditambah tidak boleh pake sabun pula. Akhirnya, kami hanya membasuh tubuh dengan air sungai. Kami menginap di beberapa rumah penduduk, sebagian rumah untuk wanita dan sebagian rumah untuk laki-laki. Selanjutnya, kami makan malam dengan bekal yang kami bawa, alias mie instan yang dimasak oleh pemilik rumah. Tapi sepiring mie instan rasanya sangat luar biasa setelah menempuh perjalanan yang panjang, naik turun bukit. Kami makan dengan piring, tanpa ada sendok. Untung ada teman yang sudah berjaga-jaga membawa sendok plastik. Untuk minum, kami memakai gelas yang terbuat dari bambu, sangat alami sekali.

Di perkampungan ini, ada penduduk yang berjualan berbagai cindera mata khas Baduy seperti gelang, gantungan kunci, ikat kepala Baduy, kain tenun, bahkan batik khas Baduy yang berwarna biru dan hitam. Ada juga yang berjualan snack dan air mineral. Jadi, tak perlu membawa banyak air mineral saat berangkat karena kita bisa membeli air mineral disini untuk bekal pulangnya. Saya pun membeli satu kain batik Baduy seharga 40 ribu untuk kenang-kenangan. Dan karena baju ganti saya yang ada di tas basah semua, saya juga membeli kaos bertuliskan Baduy seharga 30 ribu. Padahal, uang saku saya cuma 100 ribu, itupun sudah berkurang tadi saat makan siang. Terpaksa deh pinjam uang ke teman jalan, hehe. 

Rumah di Baduy Dalam juga sangat sederhana. Pada dasarnya, rumah di Baduy Dalam sama dengan di Baduy Luar, sama-sama terbuat dari bambu dan beralaskan papan kayu. Di rumah yang kami tempati, hanya ada 1 kamar tidur yang langsung bersebelahan dengan dapur. Penduduk suku Baduy tidur tanpa beralaskan kasur, hidup tanpa listrik, dan memasak dengan kayu bakar. Untung kami membawa sleeping bag jadi tidak terlalu kedinginan. Di bawah rumah, ada ruangan yang dipakai untuk kandang ayam yang siap membangunkan pemilik rumah setiap paginya.

Pemilik rumah yang kami tempati adalah sepasang suami istri dengan satu orang anak berumur sekitar 4 tahun. Saat itu, hanya ada sang istri saja di rumahnya, sementara suami dan anaknya menginap di rumah orang tuanya. Hari itu adalah hari persiapan pernikahan adik si pemilik rumah, jadi hampir semua orang sibuk ikut membantu menyiapkan hajatan. Pantas saja, saat kami berjalan tadi sore, ada bapak-bapak yang sedang menangkap ikan di sungai. Cara menangkap ikannya pun sangat alami, hanya dengan memakai kayu tombak. Dan keesokan harinya kami baru tahu, ikan ini akan dimasak dengan cara alami pula, yaitu dengan diasapi. 

Penduduk Baduy Dalam hanya diperbolehkan menikah dengan sesama penduduk Baduy Dalam. Bahkan antara Baduy Dalam dengan Luar juga tidak diijinkan menikah. Penduduk Baduy Dalam tidak diperbolehkan jalan bersampingan, jadi harus baris depan-belakang satu per satu. Mereka juga dilarang menggunakan kendaraan sehingga kemanapun mereka pergi, mereka harus berjalan kaki. Tapi hebatnya, sering mereka berjalan hingga ke Jakarta, lalu menginap di rumah teman atau kenalannya. Bahkan beberapa ada yang pernah menginap di hotel mewah di Jakarta. Selain itu, mereka tidak diperkenankan memakai alas kaki. Baju yang digunakan juga sangat khas sekali, warna hitam atau putih dan memakai ikat kepala. Jika diketahui ada penduduk yang melanggar salah satu peraturan, makan akan dikenakan hukuman bahkan bisa diusir dari Baduy Dalam. 

Ibu pemilik rumah yang kami tempati sehari-hari bekerja dengan membuat kain tenun. Kami sempat ditawari jualan hasil karya ibu, yang berupa kain dan selendang. Satu kain tenun bisa dijual dengan harga 150-200 ribu. Bagus memang, tapi sayangnya saya tidak membawa uang.

Malam itu kebanyakan dari kami tidak bisa tidur. Sampai tengah malam, kelompok cowok di rumah sebelah masih terdengar bercerita. Ada juga yang tidak bisa tidur karena saking dinginnya. Paginya, setelah ayam berkokok, kami langsung bangun dan menuju kali, mumpung masih gelap. Dengan memakai sarung dan berbekal senter, kami menuju sungai. Kami cuci muka dan buang air kecil bergantian. Sementara sebagian dari kami turun ke sungai, teman-teman yang lainnya berjaga di atas agar tidak ada kaum laki-laki yang mendekati. Jadi, setiap ada orang datang ke sungai, pasti akan ditanya dulu, laki-laki apa perempuan? (karena kondisi yang sangat gelap sehingga tidak bisa membedakan antara kaum adam dan kaum hawa). Kalau yang datang perempuan, maka akan dipersilakan untuk bergabung di sungai. Tapi kalau yang datang laki-laki, disuruh menunggu sampai kami selesai bersih-bersih di sungai. Tapi, pagi itu, tak satupun dari kami yang berani mandi, dingiiiinnn sekaliiii....

Perjalanan dilanjutkan setelah pukul 7 pagi. Sebelumnya kami sudah sarapan nasi + mie + sarden bekal kami. Semuanya dimasak oleh ibu pemilik rumah. Beliau juga berbaik hati membagikan pisang, hasil panen dari kebunnya sendiri. Baik sekali ibu ini...

Jalan pulang kami berbeda dengan jalan yang dilalui saat berangkat. Perjalanan kali ini melewati hutan, masih naik turun bukit juga. Enaknya, jalanan teduh karena di kanan kiri penuh pepohonan besar. Tapi, di tengah-tengah perjalanan, kami juga melihat ladang yang sedang diolah, yang nantinya akan digunakan untuk menanam padi dengan sistem tadah hujan.

Akhirnya, sampai juga kami di perbatasan antara Baduy Dalam dengan Luar. Tapi kali ini tidak berupa jembatan lagi. Segera kami menyalakan HP dan kamera. Malangnya, kamera saya jadi berembun lensanya akibat kehujanan kemarin. Alhasil, foto-fotonya pun jadi blur. Dan untuk HP, saya belum berani menyalakannya, takut masih basah. Mungkin perlu dijemur terlebih dahulu sebelum dinyalakan, hehe.

Perjalanan berikutnya adalah menuju Jembatan Akar. Jembatan ini sangat terkenal karena terbuat dari akar-akar pepohonan yang tumbuh disana, walaupun sekarang sudah diperkuat dengan bambu untuk alasnya. Dan setelah beberapa kali turun di turunan yang sangat curam dan licin, sampailah kami disana. Alhamdulillah, tidak tergelincir saat menuruni turunan yang curam itu. Sekali tergelincir saja, kanan kirinya adalah jurang. Dan lebar jalanan itu mungkin hanya setengah meter. Wowww banget deh pokoknya.

 
 

 Jembatan Akar

Setelah dari Jembatan Akar, perjalanan masih terus berlanjut. Saya hanya berbekal 2 botol air mineral dan ternyata kurang. Tapi alhamdulillah, kami menemukan sumber mata air di perjalanan. Jadi, kami isi penuh semua botol kosong dan tanpa pikir panjang langsung kami minum walaupun itu air mentah, daripada pingsan dehidrasi kehausan di jalan.


Air penyelamat perjalanan kami

Ternyata kami masih melewati satu jembatan lagi, tapi ini kali ini jembatannya sudah lebih modern, sepertinya pertanda kalau kami akan segera keluar dari Baduy Luar.



Akhirnya setelah berjalan lagi, kami menemukan penduduk non Baduy. Malah, sekitar 1 jam sebelum perjalanan berakhir, ada beberapa mas-mas ojek yang menawarkan jasanya, hehe. Lah, lucu dong kalo habis treking jauh masak lanjut naik ojek? Tapi ternyata, ada beberapa teman yang mau ngojek juga. Mungkin karena sudah tidak tahan capeknya lagi.

Kami tiba di rumah penduduk setelah jam 12.00. Begitu sampai di rumah penduduk, tiga elf sudah menunggu kami. Hal yang pertama kami lakukan adalah membeli minuman, setelah itu bersih-bersih ke kamar mandi dan sholat Dzuhur.

                                                   Elf yang akan mengantar kami ke stasiun

Seusai sholat, kami pun melanjutkan perjalanan ke Stasiun Rangkasbitung. Hari sudah sore. Kami mendapat kereta jam 16.00. Tapi, penuhnyaaaaa minta ampun. Sebagian besar dari kami tidak kebagian tempat duduk. Alhasil, ngglesorlah teman-teman di lantai kereta.



Ada satu hal yang menarik. Setelah saya berhasil mendapat tempat duduk dengan umpel-umpelan (harusnya 1 kursi diisi 2 penumpang, ini diisi 3 penumpang), saya mengeluarkan botol air mineral untuk diminum. Tapi eh tapi... Kok ternyata ada tanah dan lumut di dalam air. Berarti air yang kami minum dari tadi pagi juga begitu. Akhirnya ga tega juga minumnya, tak apalah kehausan, toh udah di kereta ini. Walaupun sebenarnya, kami tidak mengalami sedikit sakit perutpun setelah minum air gunung tadi. 

Perjalanan pulang kali ini sangat berbeda dengan berangkatnya. Sudah kereta penuh, berhentinya di setiap stasiun lamaaaa pula. Sepertinya lebih lama berhenti di stasiunnya daripada jalannya. Kami tiba di Stasiun Tanah Abang sekitar pukul 18.00. Langsung deh cari makan sebelum melanjutkan naik commuter line ke Depok.

Keesokan paginya, saya harus masuk kerja. Walaupun badan pegelnya kaya apa, tapi saya puas sekali, bisa melalui perjalanan yang sangat indah 2 hari ini...

Walaupun hanya semalam di Baduy Dalam, tetapi sangat-sangat mengesankan dan tak akan terlupakan :)



Rabu, 01 Mei 2013

Ingatan Hanya Mengenang Sementara, Tulisan Akan Mengingat Selamanya...

Pagi itu, di hari Selasa di penghujung bulan April 2013, saya mendapat pesan melalui whatsapp dari seorang teman baru. Kami baru kenal dari grup yang rencananya akan mengadakan trip backpackeran ke Green Canyon. Setelah saling sapa, dia bertanya, foto yang ada di profil whatsappku itu saat dimana? Karena saya tidak pernah mengganti foto profil whatsapp, saya sampai lupa foto mana yang sedang saya pajang. Berbeda halnya dengan foto profil BB yang hampir setiap hari diganti, hehe... *dasar narsis

Lalu... terpaksalah saya harus ngecek dulu yang mana fotonya sebelum menjawab pertanyaannya, hehe... Oh, ternyata itu salah satu foto saya saat jalan-jalan tahun lalu... Kemudian teman saya menanyakan lebih detail tentang perjalanan itu... DAN... Sampailah kepada pertanyaan sangat simpel tapi sangat menyentuh bagi saya. Dia bertanya : "Ditulis ga tuh kisahnya? Di blog mungkin?".

DOOOORRR... Rasanya saya seperti ditampar. Keinginan untuk menulis di blog sudah dari bertahun-tahun silam, tapi sampai sekarang tidak ada satu tulisanpun yang dihasilkan, walaupun hanya tulisan kisah pribadi yang ga perlu pake mikir...

Saya pun menjawab: "Belum, padahal pengen banget, tapi belum kesampean". Lalu, bagaimana kalo keburu lupa? huwaaaa... :'(

Baiklah, saya berjanji pada diri sendiri, marilah kita mulai menulis kisah ini, walaupun hanya kisah yang biasa-biasa saja, tapi mungkin suatu saat kenangan ini akan menjadi luar biasa... setidaknya, bagi diri saya sendiri. Syukur2 kalau bisa bermanfaat dan menginspirasi orang lain ;)

Karena ingatan hanya mampu mengenang sementara, sementara tulisan akan mengingat selamanya...

Selamat menulis, semangat!!!